Thursday, February 25, 2016

Hubungan Alm.Muammar Abu Minyar al-Qaddafi dengan perjuangan Aceh Merdeka



Muammar Abu Minyar al-Qaddafi atau yang lebih populer dengan sebutan Muammar Khadafi menghembuskan nafas terakhirnya. Ia ditangkap ketika bersembunyi dalam saluran drainase setelah iring-iringan konvoi 15 kendaraan pasukannya dibombardir oleh pasukan udara Prancis yang tergabung dalam pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sang Kolonel meninggal di tangan pasukan Dewan Transisi Nasional (NTC) saat dibawa dari Sirte, kota kelahirannya ke Misrata. Khadafi meninggal di umur 69 tahun setelah 42 tahun menjadi penguasa libya sejak 1 September 1969 hingga 2011.

Reaksi atas kematiannya pun beragam. Beberapa pemimpin negara Uni Eropa menyambut gembira atas tewasnya Khadafi. Begitu juga reaksi pemimpin Amerika Serikat, Barrack Husein Obama. Tak terkecuali sekjen PBB, Ban Ki Moon. Di Tripoli, Sirte, Misrata dan kota-kota lainnya di Libya, masyarakat pendukung NTC tumpah ruah ke jalan merayakan atas tewasnya Khadafi. Euforia hadir dimana-mana di tanah kaya minyak Afrika, Libya.



Di belahan bumi lain, di Caracas Venezuela, Hugo Chaves yang merupakan sahabat Khadafi menyatakan kemarahannya atas aksi pembunuhan itu. Chaves menyebut Khadafi sebagai pejuang, martir dan seorang revolusioner besar dari Timur Tengah. Bagi Chaves, Libya adalah Khadafi dan ia tetap akan menolak mengakui keberadaan Dewan Transisi Nasional (NTC) pimpinan Mahmoud Jibril yang kini berkuasa di Libya sepeninggal Khadafi. Ini adalah wujud dari beberapa reaksi penguasa dunia atas meninggalnya Khadafi, kamis lalu.
Sebagai rakyat Aceh, mendengar nama Khadafi tentulah tak asing lagi bagi kita. Khadafi adalah pemimpin yang sudah memerintah Libya selama empat dekade setelah melakukan kudeta militer tak berdarah terhadap Raja Idris di tahun 1969 yang dikenal dengan Revolusi Al Fatah. Setelah itu, Khadafi menjadi pemimpin Libya hingga terjadinya pergolakan di awal februari tahun ini yang mulai mengguncang eksistensi pemerintahannya.



Bagi rakyat Aceh, keberadaan khadafi begitu penting. Kekayaan alam minyak Libya yang melimpah ruah membuat Khadafi menggunakan kekuatan itu untuk melakukan perubahan di dalam negeri dan mendukung gerakan revolusi internasional. Tak terkecuali Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sejak tahun 1986 hingga tahun 1989, 800-an anak muda Aceh dikirimkan ke Libya untuk mengikuti pelatihan militer di kamp Maktabah Tajurra, 10 kilometer dari ibukota Libya, Tripoli. Di bawah kekuasaan Khadafi, Libya menjadi tempat latihan bagi kelompok-kelompok gerakan revolusioner. Selain GAM, juga terdapat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat, Sayap militer perjuangan Irlandia (IRA), Geriliawan Afrika Barat, Moro dan Pattani.

Walaupun perjuangan GAM dimulai setelah deklarasi pendirian GAM oleh Muhammad Hasan di Tiro di bukit Halimun pada tahun 1977, pelatihan militer besar-besaran GAM sebenarnya dimulai pada tahun 1986 hingga 1989. Anak-anak muda Aceh dikirim ke Libya untuk mengikuti pendidikan militer tentang taktik gerilya, penguasaan senjata, dan teknik militer para komando. Ratusan alumni kamp pelatihan Tajurra itulah yang kemudian mengendalikan aktifitas gerakan militer GAM hingga tahun 2005. Kemampuan gerilia pasukan militer GAM yang tangguh selama belasan tahun tak terlepas dari kontribusi Khadafi yang memfasilitasi pelatihan bagi pejuang GAM.



Dalam ranah militer, GAM tak hanya menjadikan Libya sebagai tempat untuk menuntut ilmu militer, tetapi GAM juga melakukan pengadopsian terhadap pola kurikulum militer milik militer Libya. Dari cara baris-berbaris, penggunaan Bahasa Arab hingga seruan perintah intruksi militer. Beberapa alumni pertama kamp pelatihan militer Tajurra adalah petinggi KPA/PA kini, seperti Muzakkir Manaf dan Darwis Jeunib.

Kini GAM telah bertransformasi dari gerakan politik dan militer menjadi gerakan politik utuh. Transformasi GAM menjadi organisasi perkumpulan eks GAM yang bernama Komisi Peralihan Aceh (KPA) dan organisasi sayap politik yang bernama Partai Aceh (PA).

Saat revolusi massa Timur Tengah bergerak dari Mesir ke Libya di awal tahun 2011, dan terjadinya perperangan antara pasukan Khadafi melawan pasukan pemberontak yang bersekutu dengan pasukan NATO di awal Februari, saya amat menanti hadirnya sikap politik dari eks GAM terhadap penyerangan itu. Tapi, sikap politik eks GAM terhadap konflik yang terjadi di Libya tetap tak kunjung hadir. Beberapa alasan mungkin dikarenakan pihak eks-GAM tak ingin ikut campur mengomentari konflik yang terjadi di Libya disebabkan oleh adanya Uni Eropa yang juga turut andil dan memiliki kepentingan dalam konflik perang Libya.


Dalam beberapa hal, pihak eks GAM bisa jadi takut, dikarenakan pasca MoU Helsinki yang ditanda tangani 15 Agustus 2005, andil Uni Eropa terhadap perdamaian dan rehabilitasi/rekontruksi Aceh pasca Tsunami begitu besar.

Lalu, ketika kamis kemarin Khadafi menjemput ajalnya. Hingga kini saya tetap menanti sikap politik eks GAM atas kematian Khadafi itu. Menanti sekadar ucapan politik atas turut berbela sungkawa ataupun menyesali pembunuhan terhadap Khadafi (seperti yang dicontohkan Chavez) yang pernah memberikan kontribusi besar terhadap perjuangan GAM.

Bagi saya, kelihaian taktik perang dan gerilia GAM tak akan ada tanpa kontribusi Khadafi yang memfasilitasi pelatihan terhadap ratusan anak muda Aceh di Libya pada dekade 1980-an itu. Tanpa pelatihan itu, tidak akan ada kemahsyuran kekuatan militer GAM yang begitu disegani. Tak akan ada julukan “eks Libya” terhadap pasukan elite GAM. Tak akan ada kekuatan perang terstruktur dari pihak GAM.

Tidak seperti di akhir tahun 2008, ketika Martti Ahtisaari mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian oleh panitia Nobel di Oslo, Norwegia. Saat itu semua pihak seakan latah untuk memberikan ucapan selamat kepada Martti atas jasanya yang telah menjadi fasilitator perundingan MoU antara pihak Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia.

Dalam perdamaian, Martti memang memiliki andil besar. Tapi tentu tak hanya Martti, masih banyak martti-martti lainnya yang juga turut berkontribusi terhadap lahirnya MoU Helsinki. Tapi, dalam hal perjuangan militer rakyat Aceh dan GAM, satu-satunya orang luar Aceh yang memiliki andil besar adalah Khadafi, sang Kolonel. Disaat negara lain tak berani memberikan dukungan, Khadafi hadir dengan memfasilitasi pelatihan militer kepada ratusan anak muda Aceh di negerinya. Diberikan fasilitas militer secara gratis tanpa dipungut biaya. Tanpa diminta untuk memberikan balas jasa dalam bentuk apapun.

Dahulu, perjuangan kita selalu dilandasi atas perasaan ketertindasan, tidak adanya rasa keadilan dan balas budi dari pihak luar. Penipuan ala Soekarno, penggerukan kekayaan alam ala Soeharto melahirkan konflik-konflik yang terus menerus berkelanjutan. Dari DI-TII hingga lahirnya GAM di tahun 1977. Semua itu dilandasi dari perasaan atas ketidakadilan yang kita alami.

Meminjam istilah Soekarno “Jangan sekali sekali melupakan sejarah”, mungkin ini adalah ungkapan yang paling tepat untuk melukiskan hal ini. Kita sebagai rakyat Aceh berharap jika pihak seperti eks GAM yang telah bertransformasi menjadi gerakan sipil dan politik memiliki kebesaran hati untuk tidak melupakan jasa-jasa orang-orang seperti Khadafi. Terlepas dari kontroversi kehidupan yang ia jalani. Kita berharap jika eks GAM dengan rendah hati mau memberikan statemen yang menggambarkan sikap politik mereka atas hal yang menimpa orang yang pernah berjasa dalam perjuangan mereka. Seperti halnya yang mereka lakukan dulu ketika Martti dihadiahi penghargaan Nobel.

Sikap politik tak selalu harus dipublikasikan di surat kabar dalam bentuk iklan ucapan selamat atau belasungkawa yang berhalaman-halaman. Eks GAM cukup mengeluarkan statemen politik, sebagai bagian dari eksistensi mereka yang kini total bergerak dalam kancah politik. Kita butuh memberikan penghargaan kepada orang-orang yang telah berjasa besar dalam perjuangan kita. Jika saja Tiro masih hidup, tentu ia akan melakukannya.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya dan orang-orang yang berkontribusi terhadap sejarahnya. Bagi saya, kita perlu menghormati Khadafi selayaknya Tiro menghormatinya. Menafikan keberadaan Khadafi dalam perjuangan GAM sama dengan melupakan GAM itu sendiri.

No comments:

Post a Comment