Saturday, September 19, 2015

sejarah purbakala di tanah aceh utara






Laporan Masriadi Sambo

DULU, orang tidak pernah menyangka bahwa di Aceh Utara juga pernah dihuni oleh manusia purba. Manusia yang hidup sebelum Islam masuk ke bumi Sultan Malikussaleh ini. Namun, setelah tim peneliti dari CISAH (Central Information for Samudra Pasai Heritage) melakukan ekspedisi Meungat Sekandar II, kabut hitam tentang zaman pra sejarah di Aceh Utara mulai terungkap. Tim ini menelusuri desa demi desa di Kawasan Mbang, Kecamatan Geureudong Pase, Kabupaten Aceh Utara. Tim menyimpulkan, potensi kepurbakalaan di daerah itu sangat tinggi.

Dengan demikian, kawasan tersebut layak masuk dalam zona Samudra Pasai, sebagai salah satu kawasan yang menyimpan sejarah. Kawasan yang menyimpan arti penting bagi ilmu pengetahuan. Tengku Taqiyuddin Muhammad, sebagai salah satu peneliti senior sejarah Islam di Aceh Utara, menyebutkan, ekspedisi dilakukan selama 11 hari, sejak akhir Mei-Juni 2010. “Tujuan ekspedisi untuk menemukan pusat pemukiman Islam di pedalaman Aceh Utara, yakni pemukiman sebelum berdirinya kota Samudra Pasai di pesisir, yang sejauh ini belum berhasil dideteksi,” kata pria berjenggot dan berkumis tebal ini.

Dari amatan tim di lapangan, kawasan Mbang ternyata tidak hanya menyisakan peninggalan kebudayaan-kebudayaan masa Islam, namun juga peninggalan masa prasejarah. Dari sisi ini, kawasan tersebut berbeda dengan kawasan situs-situs peninggalan sejarah di kecamatan Samudera yang dapat dikatakan murni peninggalan masa Islam. “Ini menunjukkan Kota Samudra, atau Sumutrah sebagaimana disebut Ibnu Bathuthah dalam Rihlahnya, dibangun pada masa Islam telah berkembang sampai pedalaman Aceh Utara sekarang, dan telah mengakhiri masa prasejarahnya paling lambat sekitar penghujung abad ke-12 M,” jelas Tengku Taqi-panggilan akrab Tengku Taqiyuddin Muhammad.

Di Suka Damai Mbang, pihaknya menemukan komplek hunian megalitik. Situs hunian megalitik ini terdapat di areal puncak bukit yang cenderung datar pada ketinggian ± 270 meter di atas permukaan laut dengan letaknya secara astronomis pada koordinat 4°59 LU dan 92°02 BT.

Bekas-bekas kepurbakalaan yang terdapat di hunian megalitik tersebut sangat beragam. Di antaranya, menhir baik dalam posisi roboh maupun masih tegak, batu datar, batu gores, batu berurut, alat-alat megalit bahkan sampai benda-benda yang diperkirakan pernah digunakan untuk produksi emas. Salah satu tinggalan prasejarah yang fenomenal di lokasi hunian megalitik tersebut adalah Batu Peta (Map Stone).

Peninggalan megalitik berupa garis-garis (alur) dan titik-titik (lubang-lubang serupa cawan) pada bidang datar batu itu tampak menunjuk ke lokasi-lokasi tertentu dengan jalur tempuhnya masing-masing.

Batu Peta seperti ini juga pernah ditemukan di tempat-tempat lain di dunia, salah satu yang terkenal adalah di barat Yorkshare, Inggris. “Orang zaman dulu, kalau mau buat peta di atas batu,” terang Tengku Taqi. Bangun Batu Peta yang ditemukan di situs hunian megalitik Mbang ini berbentuk Batu Kursi ± 2 x 1.5 meter yang di bagian belakang sandarannya terdapat peta atau garis-garis dan titik-titik penunjuk untuk kawasan yang diduga kuat adalah kawasan Aceh Utara, terutama kawasan DAS Krueng Pase dan Krueng Jawa.

Batu Peta ini telah digunakan tim peneliti untuk menemukan beberapa lokasi punden berundak yang menjadi ciri kebudayaan megalitik. Letak lokasi-lokasi punden berundak yang diketemukan lewat penunjuk-penunjuk pada batu peta yang diperkirakan telah berusia seribu tahun lebih ini, secara jelas menunjukkan adanya intensitas kegiatan manusia prasejarah yang padat di kawasan lembah dan kedua barisan perbukitan yang mengapit Krueng Jawa dari sebelah utara dan selatannya, dan membujur dari timur-barat membentuk formasi angka 11. Sementara bukit sebelah selatan, Krueng Jawa kembali dirintangi Krueng Pase di sebelah selatannya sehingga letak geografis amat strategis bagi lintasan transportasi waktu itu. Di lokasi yang sama ditemukan pula menhir, lumpang, dan alat-alat megalit.

Pola arsitektural punden berundak di kawasan Mbang ini juga memiliki keunikan tersendiri dari beberapa bangunan punden berundak di Sumatera. “Keunikannya ialah pada telaga (kolam penampung air hujan) yang terdapat di bagian mendekati puncak punden.

Dari telaga itu dibuat alur-alur di lantai bukit yang tersusun batu untuk mengalirkan air ke bagian-bagaian bawah punden,” sebut Tengku Taqi. Lebih jauh dijelaskan, alur-alur itu sebenarnya tidak persis sekali alur yang lazim, sebab bukan lubang galian dengan kedalaman tertentu tapi hanya berupa kemiringan-kemiringan tertentu dari lantai punden yang dengan sendirinya menjadi bagian rendah untuk dialiri air dari telaga.

Jadi, tampaknya seperti air sungai yang turun dan mengalir tenang lewat sebuah tebing bukit yang landai. Mungkin saja, punden berundak di kawasan ini adalah replika dari tempat semisal itu. Hal lain yang menarik, di bagian bawah punden berundak juga ternyata terdapat alur air bawah tanah semacam terowongan kecil.

Maksud dan fungsinya masih belum diketahui secara pasti. Meskipun lokasi-lokasi situs prasejarah itu tampak telah pernah dihancurkan oleh masyarakat pendukungnya setelah mereka beralih keyakinan kepada Islam, namun sisa-sisa kegiataan manusia prasejarah masih banyak terlihat.

Situs-situs di kawasan Mbang ini akan menjelaskan banyak hal tentang masyarakat penghuni Aceh Utara masa pra-Islam berikut kebudayaannya serta proses Islamisasi di kawasan tersebut. Dan yang tak kalah pentingnya juga situs-situs megalitik ini akan membantu kita memahami pengaruh peradaban megalitik dalam kehidupan masyarakat setelahnya sampai dengan sekarang, misalnya dalam hal pembuatan alat-alat batu untuk keperluan rumah tangga dan lain sebagainya.

Penuh harap
Mengingat potensi kepurbakalaan yang amat tinggi di kawasan Mbang Kecamatan Geureudong Pase ini, Tengku Taqi berharap agar pemerintah baik pusat dan daerah dapat memberikan dukungannya kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Aceh (BP3 Aceh) dan lembaga terkait lainnya untuk dapat melakukan berbagai kegiatan mulai penelitian arkeologis yang lebih seksama di kawasan. “Untuk sekarang ini, dan dengan kemampuan finansial mandiri dan sangat terbatas,

CISAH cuma dapat melakukan survey awal serta menginformasikan dan mempublikasikan hasil-hasil temuannya agar dapat dimanfaatkan oleh para ahli ilmu pengetahuan terkait kepurbakalaan dan sejarah, dan juga supaya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai langkah pengembangan baru di sektor kebudayaan dan parawisata,” harap Tengku Taqi.

Dia juga menyebutkan, jika penelitian ini tidak didukung oleh pemerintah daerah, maka sangat disayangkan. Karena, temuan itu akan rusak dimakan waktu. -- Tabloid  

KONTRAS Nomor : 547 | Tahun XII 24 - 30 Juni 2010

No comments:

Post a Comment